MENGIMANI YANG GHOIB SESUAI SYARIAT
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNDeG0RwaJp5wOIaMxgxhXtlteuqO-V6UCWKawe9a09bpDqu9r9YBhdqF3-_AlfoU3m6b5XswMnLJLBZH0u2cR2ne62YNAUgVC5HsQqM48-MAqAidFY_j45gg2DwX7dFEJPUAIFtqxbHEY/s72-c/ghoib.jpg
Iman Kepada Yang Ghaib |
I. Iman Kepada Yang Ghaib
Ghaib adalah kata masdar yang digunakan untuk setiap sesuatu yang tidak dapat diindra, baik diketahui maupun tidak. Iman kepada yang ghaib berarti percaya kepada segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi ia diketahui oleh wahyu yang diterima oleh para nabi dan rasul.
Iman kepada yang ghaib adalah salah satu sifat dari orang-orang mukmin. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3).
Ada dua pendapat tentang makna iman tersebut:
1. Bahwasanya mereka mengimani segala yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra (dan akal), yaitu hal-hal yang telah diberitakan tentang Allah Subhannahu wa Ta'ala dan tentang para rasulNya.
Ghaib adalah kata masdar yang digunakan untuk setiap sesuatu yang tidak dapat diindra, baik diketahui maupun tidak. Iman kepada yang ghaib berarti percaya kepada segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi ia diketahui oleh wahyu yang diterima oleh para nabi dan rasul.
Iman kepada yang ghaib adalah salah satu sifat dari orang-orang mukmin. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3).
Ada dua pendapat tentang makna iman tersebut:
1. Bahwasanya mereka mengimani segala yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra (dan akal), yaitu hal-hal yang telah diberitakan tentang Allah Subhannahu wa Ta'ala dan tentang para rasulNya.
2. Bahwasanya mereka beriman kepada Allah di waktu ghaib sebagaimana mereka beriman kepadaNya di waktu hadir; dan ini berbeda dengan orang-orang munafik.
Kedua makna di atas tidak bertentangan, bahkan keduanya harus ada pada diri seorang mukmin.
II. Pengaruh Iman Kepada Yang Ghaib dalam Aqidah Seorang Muslim
Iman kepada yang ghaib mempunyai pengaruh yang besar sekali, sehingga terpantul dalam tingkah laku seseorang dan juga dalam jalan hidupnya. Ia merupakan motivator yang sangat kuat untuk melahirkan amal kebajikan dan memberantas kejahatan. Di antaranya adalah:
a. Ikhlas beramal untuk memperoleh pahala dan menghindarkan diri dari siksa di akhirat, bukan menginginkan balasan dunia dan pujian manusia. Sebagaimana Allah memberitahukan tentang para hambaNya yang memberikan makanan kepada orang lain padahal mereka sendiri menyukainya dalam firmanNya:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan: 8-9).
b. Kuat, tegas dan tegar dalam pembenaran. Apa yang dijanjikan Allah untuk orang yang beriman menjadikan seseorang teguh dalam menjalankan segala perintahNya, menjelaskan yang haq, mengajak kepada yang haq, menjelaskan yang batil dan memeranginya. Jika tidak ada yang membantu maka dia pun kuat karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , terasa mudah baginya kehidupan dunia dan segala penderitaannya, dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang perkataan kekasihNya, Ibrahim Alaihissalam kepada kaumnya:
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (An-Anbiya’: 57-58).
Sebagaimana Dia menceritakan para ahli sihir Fir’aun ketika beriman, bagaimana mereka meremehkan siksaan Fir’aun atas mereka. Allah berfirman:
“Ahli-ahli sihir itu menjawab, ‘Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami’. (Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepadaMu).” (Al-A’raf: 125-126).
c. Meremehkan bentuk-bentuk penampilan duniawi. Hal ini merupakan pengaruh dari makmurnya hati karena keimanan bahwa dunia beserta kenikmatannya akan lenyap, sedangkan akhirat adalah kehidupan kekal, damai abadi selamanya. Maka tidak masuk akal lebih memilih hal yang fana daripada yang kekal. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut 64).
Allah juga mengisahkan istri Fir’aun yang telah meremehkan segala kemewahan dunia yang ada padanya dan meminta agar diselamatkan dari Fir’aun berikut keburukannya, demi untuk menggapai kehidupan akhirat. Demikian itu karena hatinya memancarkan sinar keimanan kepada Allah dan kepada hari Akhir. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah disisiMu dalam Surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (At-Tahrim: 11).
d. Lenyapnya kebencian dan kedengkian. Sesungguhnya usaha mewujudkan keinginan nafsu tanpa melalui jalan yang benar menyebabkan kebencian dan kedengkian antar manusia. Sedangkan iman kepada yang ghaib, berupa janji-janji Allah dan ancamanNya menjadikan seseorang mau mawas diri dan mengoreksi diri sendiri dalam setiap gerak-geriknya demi mendapatkan pahalaNya dan menjauhi siksaNya.
Iman yang benar terhadap adanya pahala menjadikan seseorang bergegas melakukan ihsan dan kebajikan demi mendapatkan pahala yang kekal, suatu perkara yang menjadikan bersihnya jiwa dan merebaknya kasih sayang di antara individu dan jama’ah. Sebagaimana Allah menceritakan tentang orang-orang yang telah mempraktekkan hal itu dalam firmanNya:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a, ’Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 9-10).
Itulah sebagian pengaruh iman terhadap yang ghaib. Pengaruh-pengaruh tersebut akan berkurang disebabkan oleh lemahnya iman. Bila pengaruh iman sudah tidak ada maka suatu masyarakat berubah menjadi masyarakat hewani, yang hidup memangsa yang mati, yang kuat menindas yang lemah, ketakutan merajalela, musibah meluas dan merata, kemuliaan hilang dan kehinaan yang naik tahta. Semoga kita dilindungi oleh Allah dari yang demikian.
Posting Komentar